Ketum DPP HBB Lamsiang Sitompul Minta Penuntutan Terhadap Tenaga Medis di Pematangsiantar Dihentikan

tenaga kesehatan Pematangsiantar

topmetro.news – Ketua Umum DPP HBB (Horas Bangso Batak) Lamsiang Sitompul SH MH meminta kepada kejaksaan untuk menghentikan penuntutan terhadap tenaga kesehatan di Kota Pematangsiantar. Hukum tidak semestinya tunduk kepada tekanan massa.

“Menurut saya, mereka (tenaga medis-red) tidak dapat ditersangkakan. Karena menurut saya di sana tidak ada pelanggaran. Dan kalaupun ada, pelanggaran bukan penistaan agama. Mungkin pelanggaran kode etik yang sanksinya berupa teguran, bisa berupa pembinaan atau sejenisnya,” kata Lamsiang, Rabu (24/12/2021).

Hal itu ia sampaikan, menanggapi perkara yang merundung empat tenaga kesehatan (nakes) yang kini menjadi tersangka dan menjalani penahanan sebagai tahanan kota. Menurutnya, pasal penistaan agama itu terlalu dipaksakan.

Sebagaimana diketahui, empat pria tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Djasamen Saragih Pematangsiantar, Sumut, ditetapkan sebagai tersangka. Ke empatnya terjerat kasus penistaan agama, usai memandikan jenazah wanita di ruang forensik rumah sakit milik pemerintah daerah itu. Kejadian itu berlangsung pada 20 September 2020.

Menurut Lamsiang, kronologis kejadian sudah jelas. Bahwa ada kondisi emergency setelah almarhumah meninggal karena Covid. Kemudian telah ada pemberitahuan kepada suami almarhumah, bahwa tidak ada tenaga kesehatan perempuan untuk memandikan jenazah.

“Kepada suami almarhumah diminta untuk mencari orang yang bisa memandikan jenazah perempuan. Namun tidak ada. Kemudian suaminya membuat surat pernyataan. Bahwa terhadap istri bersedia dimandikan oleh tenaga kesehatan yang ada. Tetapi entah mengapa kemudian ia keberatan dan melapor,” ujarnya.

Demi Kepentingan Umum

Seharusnya, lanjut Lamsiang, di tingkat kepolisian perkara ini juga harus berhenti. Namun kondisinya saat ini perkara telah P21. Untuk itu Lamsiang meminta agar pihak kejaksaan menghentikan penuntutan.

“Dalam istilah hukum disebut ‘deeponering’, di mana terhadap perkara yang sudah P21 dihentikan penuntutannya dan menerbitkan SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan). Dengan kata lain tidak semua perkara yang sudah P21 harus lanjut ke penuntutan .Jaksa Penuntut Umum berhak mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Hal ini pernah terjadi saat kasus dugaan suap dan pemerasan oleh Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Atau yang lebih sering disebut sebagai kasus Bibit-Chandra, di mana perkaranya dihentikan oleh Kejaksaan Agung,” urainya.

“Kepentingan umum dalam hal ini apa? Bahwa saat ini tenaga medis itu sangat kita butuhkan pada saat pandemik Covid-19. Di situ jelas uraiannya, tidak ada tenaga medis lain khususnya tenaga medis perempuan. Jadi ini sifatnya emergency. Untuk itu, ini yang harus menjadi catatan,” sambungnya.

Di sisi lain, katanya, Kapolri yang baru ini juga mencanangkan adanya restoratif justice. Yaitu penanganan perkara tidak semata-mata mengajukan ke penuntut umum. Tapi mengupayakan penyelesaian dengan mengutamakan keadilaan restoratif.

Di Sumatera Utara sendiri hal ini pernah terjadi, dalam perkara penghinaan terhadap Bupati Pakpak Bharat. Di mana perkara sudah P21, namun Kejaksaan Tinggi Sumut menghentikan penuntutannya. Dalam hal ini, Lamsiang Sitompul menjadi kuasa kukum yang mendampingi tersangka.
“Sekali lagi, hukum jangan tunduk di bawah tekanan massa. Dalam hal ini sangat terlihat, karena adanya tekanan massa sehingga perkara ini jadi maju. Saya berharap agar aparat hukum jangan mau tunduk di bawah tekanan massa. Kita minta hentikan penuntutan atas perkara ini. Karena jelas alasannya demi kepentingan umum,” tegasnya.

Wewenang Kejaksaan

Kata Lamsiang, pengaturan soal ini ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai ‘Lex Generalis’ (Hukum Umum). Pasal 14 Huruf h menyatakan bahwa: Penuntut umum mempunyai wewenang menutup perkara demi kepentingan hukum. Kemudian pengaturan dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai ‘Lex Specialis’ (Hukum Khusus). Pasal 35 huruf c, Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Pada penjelasan ketentuan Pasal 35 c tertulis, bahwa ‘kepentingan umum’ adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.

“Sementara kalau kita baca pasal tentang penistaan agama yang sesuai Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 menyatakan: Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia. Atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu,” jelasnya.

“Dan kita kaitkan dengan tindakan para tenaga kesehatan tersebut, sangat tidak memenuhi unsur dari pasal tersebut. Oleh karena itu demi tegaknya hukum dan keadilan perkara ini haruslah berhenti penuntutannya. Apakah lebih penting memenjarakan para tenaga kesehatan daripada mengharap masih ada tenaga kesehatan yang menangani pemulasaraan jenazah?” tanya dia

“Kalau ini terjadi, di mana tenaga kesehatan yang memandikan jenazah di Rumah Sakit Pematangsiantar tidak ada lagi. Lalu akan diapakan jenazah yang ada di rumah sakit tersebut? Keadilan seperti apakah yang terjadi? Kalau sampai tenaga medis tersebut kena hukum, itu merupakan kemunduran dari peradaban manusia,” tutupnya.

reporter | Jeremi Taran

Related posts

Leave a Comment